Bangladesh mungkin bukan salah satu tujuan parawisata unggulan dunia. Pamornya kalah jauh dibandingkan tetangganya di Asia Selatan macam India, Nepal, Bhutan dan Srilangka. Pertama kali lihat teman di media sosial memposting perjalanannya ke Bangladesh, saya langsung bertanya, apa yang ada dilihat di sana ? Karena setahu saya Bangladesh itu bukan negara tujuan wisata, yang saya dengar dari sana hanyalah berita soal banjir, badai dan kemiskinan. Sepertinya teman saya itupun masih mencoba menjajaki tempat wisata yang bisa dijual di Bangladesh. kalau dicari di googlepun tak banyak referensi tempat wisata menarik di sini. Salah satu referensi yang muncul adalah Sylhet, salah satu kota terbesar di Bangladesh konon katanya terkaya karena memiliki sumber daya alam berupa gas, perkebunan teh, juga tambang batu alam dan pasir. Saya membayangkan Sylhet itu seperti daerah Puncak Bogor yang dingin dikelilingi kebun teh di kiri kanan jalan yang mendaki.
Informasi dari beberapa artikel yang saya baca baiknya berkunjung ke Sylhet itu adalah di musim penghujan sekitar bulan April sampai Oktober. Rencananya memang begitu, tapi karena jadwal liburan kami yang seharusnya ke Maldives terpaksa saya minta dibatalkan karena kekhawatiran merebaknya virus varian baru dari corono membuat saya menjadi lebih was was bepergian saat pandemi ini. Ingat pengalaman di Eropa, Maret tahun lalu, kami harus pulang lebih cepat karena lockdown di mana mana. Saya tak ingin liburan dihantuli perasaan tak menentu itu lagi. Keputusan untuk liburan di daerah lokal adalah yang terbaik menurut saya. Karena kami tinggal di Bangladesh maka kami memutuskan liburan di sini saja. Pilihannya ya ke Sylhet itu tadi, karena sebelumnya kami sudah tinggal di daerah pantai Cox’s Bazaar dan saya tak ingin liburan ke sana lagi. Cerita tentang tempat wisata Cox’s Bazaar sudah ada saya tulis di postingan sebelumnya. Silahkan dibaca. Nah berdasarkan alasan inilah kami akhirnya pergi ke Sylhet meskipun bukan musim yang tepat. Kenapa harus musim hujan ke sana ? Dari hasil perjalanan ini saya menemukan jawabannya.
Sylhet berada sekitar 230 km jauhnya dari Dhaka, ibukota Bangladesh, kami tempuh dengan naik pesawat dengan hanya 40 menit terbang. Prosedur terbang domestik tak terlalu ribet di sini, tak perlu test swab maupun antigen, cukup mengisi data kesehatan di bandara. Protokol kesehatan yang diterapkan hanya menggunakan masker dan sarung tangan. Tidak ada jaga jarak kursi penumpang dan karantina di tempat tujuan. Mudah mudahn tidak terpapar virus, itu saja harapannya. Dari bandara Sylhet kami naik mobil carteran dari bandara menuju hotel. Tidak ada taxi umum di sini. Mobil carteran bisa dipesan online atau di bandara dengan tawat menawar harga. Boleh juga naik CNG, kendaraan roda tiga semacam bajaj yang merupakan angkutan umum di Bangladesh. Harganya jauh lebih murah daripada mobil. Hanya saja perlu berhati hati, di sini pengendaranya suka ngebut dan asal asalan di jalanan seolah olah merekalah rajanya. Kami memilih tinggal di hotel tengah kota untuk memudahkan kami menjelajahi sekitaran Sylhet. Karena jarak antara tempat wisata yang kami pilih cukup jauh dan berbeda arah. Kami memesan mobil carteran secara online untuk 3 hari perjalanan. Perjalanan hari pertama kami pilih ke Sadaphator dan Ratargul. Pemilihan rute ini dibantu oleh pemilik mobil carteran, mereka lebih tahu rute yang sebaiknya kami ambil. Hari Kedua ke Madhopur Lake, Sremangal dan Lawachara. Hari ketiga ke Jaflong Lake dan Lala khal.
Sadapathor berada sekitar 33 km ke arah utara dari kota Sylhet. Udara cukup cerah saat kami menuju ke lokasi ini. Jarak tempuh sekitar 45 menit melalui jalan raya yang tak terlalu padat oleh kendaraan. Di kiri kanan jalan mendekati lokasi terlihat banyak tempat pemecahan batu kali menjadi kerikil juga tempat pembuatan batu bata merah. Terlihat cerobong asap yang tinggi terbuat dari tembok batu batu tempat pembakaran batu bata. Sadaphator ini merupakan aliran sungai yang bersih dan jernih. Di sekitar hulu sungai banyak batu batuan sungai bertumpuk tersusun secara alamiah. Untuk menuju lokasi hulu sungai ini kami naik boat sekitar 15 menit. Sangat ramai pengunjung ternyata, saudara-saudara. Mereka membawa bekal makanan ke sana, duduk di tepi sungai berbatu atau menyewa tempat duduk yang bisa sambil tiduran seperti di pantai. Langit biru cerah tanpa awan karena ini sedang musim dingin tapi mataharinya sangat menusuk di atas kepala. Saran saya jika ke sini, bawalah topi atau payung. Seperti halnya di pantai yang saya lihat seperti di Cox’s Bazaar, orang lokal suka bermain main di air atau mandi mandi tapi mereka berpakaian lengkap. Di sini kebanyakan yang main air itu kaum lelaki saja karena tak ada tempat untuk berganti baju dan itu menyulitkan untuk kaum perempuan. Tempat wisata ini memang sangat jauh dari ketersediaan fasilitas umum. Beda dengan di Cox’s Bazaar meskipun tak ada fasilitas umum, orang orang bisa langsung pulang ke hotel dan ganti pakaian. Di sini tak ada sama sekali karena pengunjung rata rata datang dari tempat jauh seperti Sylhet. Melihat air bening dan dingin yang mengalir itu ingin rasanya ikut berendam di dalam sungai itu tapi saya tak mau repot juga harus basah basahan pulang secara perjalanan masih satu harian lagi.






Ratargul merupakan hutan manggrove. Untuk menuju ke sini kami juga harus naik buat dari dermaga. Terlihat air sungai sangat jauh menyusut di bawah tangga dermaga karena musim hujan belum tiba. Menurut anak muda yang menjadi penunjuk jalan kami, sebaiknya untuk datang ke hutan manggove itu saat musim hujan, air sungai akan terlihat hijau. jauh lebih cantik dibandingkan datang sekarang di musim dingin, air sungai dan air rawa terlihat keruh. Kami menyusuri rawa hutan manggrove dengan sampan kecil. Suasana di dalam rawa sangat hening karena tak banyak pengunjung di sini seperti di Sadaphator. Hanya saja area yang kami kelilingi tak terlalu luas karena sebagian rawa mengering. Sesekali kami berpaspasan dengan sampan pengunjung lain. Pendayung sampan bernyanyi di keheningan rawa dengan suara nyaring dan merdu sebagai pertanda ada sampan di kelokan sehingga pendayung lain berjaga jaga untuk tidak saling bertabrakan. Pengalaman menikmati suasana alam yang sangat menarik. Orang lokal bilang hutan manggrove ini dengan sebutan mini Amazon. Kami disarankan kembali lagi di musin hujan untuk menikmati rawa yang berwarna hijau. Hmmm… lain kali bolehlah datang lagi. Sama seperti Sadaphator, tidak ada fasilitas umum yang memadai di sini, misalnya restauran untuk makan atau minum, jadi bawalah bekal yang cukup jika ingin menyusuri rawa manggrove ini dan janga lupa bawa pulang sampahnya. Selama berkeliling di sini hanya ada dua perhentian yang kami singgahi yaitu watch tower atau menara pengawas di tengah rawa dan satu lagi rawa yang mengering karena karena tidak ada hujan. Di sini kami duduk sebentar sambil menikmati segarnya air kelapa muda kemudian melihat lihat hutan manggrove dengan akarnya yang besar besar.






Sreemangal merupakan kota kecil di sebelah selatan Sylhet yang dikelilingi oleh perkebunan teh. Jarak dari kota Sylhet sekitar 70 km, agak jauh memang. Di sini kami menikmati teh unik disebut seven layer tea. Teh yang diolah dengan warna bertingkat tingkat dan rasa yang berlapis lapis. Rasanya mirip wedang jahe sih menurut saya, hanya saja ini lebih manis di bagian dasarnya. Jujur saja saya lebih suka teh biasa atau teh susu buatan orang lokal dari pada seven layer tea ini, tapi karena penasaran rasanya kami pergi mencari lokasi penjual teh ini. Untuk ke kebun teh ini baiknya datang lebih pagi agar tak terlalu panas berada di sekitaran kebun teh. Jika beruntung bisa ketemu dengan orang lokal yang sedang memetik teh. Tapi dilarang masuk ke areal perkebunan, hanya di sekitar pinggir jalan yang diijinkan untuk tempat mengambil photo.


Dari Sreemangal ini kami melanjutkan perjalanan ke kawasan hutan lindung Lawachara National Park. Saya beli tiket untuk trekking selama dua jam di dalam hutan lindung tersebut. Kami dipandu oleh seorang penunjuk jalan melewati hutan bambu dan kebun lemon yang bersisian dengan kebun teh. Udara terasa sejuk dan segar tapi di tempat tertentu di keramaian tempat orang berkumpul terdengar suara yang berisik. Orang lokal suka bicara keras keras padahak di tengah hutan sangat mengganggu terhadap penghuni setempat yaitu binatang binatang yang ada di sana. Untuk melihat binatang penghuni hutan ini ada baiknya datang pagi hari saat lokasi belum ramai pengunjung, kata penunjuk jalan kami. Beberapa binatang yang sempat terlihat oleh saya hanyalah beberapa ekor monyet yang menjauh di atas pohon. Banyak pohon pohon besar dan berusia tua di dalam hutan lindung ini. Dua jam mengitari hutan lindung tak terasa karena kami asyik sambil mengobrol dan mengambil photo. Ada satu lintasa kereta api yang melewati hutan lindung ini. Kami tak lagi sempat singgah ke Madhabpur Lake karena sudah terlalu sore. Kami terlalu banyak menghabiskan waktu di kebun teh dan sibuk mencari lokasi minum teh tujuh tingkat tadi…hehehe




Hari terakhir kami Danau Jaflong di perbatasan antara India ( Meghalaya ) dengan Bangladesh. Perjalanan ke sini hanya sekitar 40 km dari Sylhet. Mirip seperti ke Sadapthor, di sepanjang jalan banyak pembuatan batu bata dan tambang batu kerikil. Jalanan penuh debu karena lama tak hujan. Danau Jaflong ini salah satu tempat turis yang banyak dikunjungi oleh orang lokal. Danaunya terlihat mengering dan menjadi seperti padang pasir. Kami harus naik perahu kecil untuk bisa menikmati air danau yang bening bersih lebih dekat lagi. Tapi hal ini justru membuat kepala saya jadi pusing dan serasa berputar karena saya tak tahan dengan silau air yang terpancar karena terik matahari. Kami melewati tempat penambangan pasir dan batu kali. Banyak penduduk lokal mengadu nasib di sini sebagai penambang pasir dan batu. Mereka bekerja berkelompok atau sekeluarga beserta anak istri turut serta. Danau Jaflong tempat tambang pasir terbesar di Bangladesh, begitu yang kami dengar. Orang orang bekerja giat di bawah terik matahari dengan kaki terendam di aliran air danau yang dingin. Panas dari atas tapi di bawah. Begitulah mereka bekerja di alam terbuka demi kehidupan dan masa depan yang lebih baik.
Kami berhenti sejenak turun dari perahu kecil tersebut dan menuju sebuah perkampungan di seberang danau. Dengan sedikit berjalan mendaki bebatuan kami kemudian melanjutkan dengan tomtom, kendaraan roda tiga mirip bajaj atau CNG menuju kebun teh milik penduduk lokal. Konon katanya yang terkaya di perkampungan itu. Perkampungan ini milik orang Khasia, salah satu suku yang ada di Bangladesh. Konon orang Khasia ini adalah pendatang dari India bagian Meghalaya. Mereka tinggal di rumah rumah panggung. Perkampungannya cukup bersih. Beberapa kali kami berpapasan dengan perempuan Khasia. Mereka mirip seperti orang Asia Tenggara dan memiliki bahasa sendiri. Setelah lelah berkeliling perkampungan menuju kebun teh melewati kebun sirih kami singgah di sebuah warung lokal untuk minum teh. Nikmat rasanya sambil makan sajian lokal, samosa. Semacam gorengan yang berisi adonan kentang dibungkus pakai adonan tepung terigu. Rasanya mirip pastel atau risol.
Dari perkampungan ini kami melanjutkan perjalanan ke perbatasan kembali naik perahu kecil. Saya terpaksa menutup mata karena tak tahan silau sinar matahari yang terpantul dari aliran air danau yang bening itu. Di lokasi ini terlihat petugas polisi perbatasasan berjaga jaga. Mereka mengawasi para turis yang datang dari sebelah Bangladesh agar jangan sampai menginjakkan kaki perbatasan bagian India. Tak jelas tanda pembatasnya di situ. Hanya ada batu besar teronggok itu. Tentu saja bagi pendatang yang datang hanya untuk bersenang senang tak akan memperhatikan pembatas itu. Para turis lokal itu menggunakan kesempatan untuk mandi mandi di tepi Danau Jaflong tersebut. Dari kejauhan terlihat sebuah jembatan layang menggantung milik pemerintahn India. Sungguh satu pengalaman menarik melihat situasi di perbatasan dua negara ini. Serupa tapi tak sama, karena dulu Bangladesh ini adalah bagian dari India juga. Menurut saya danau ini bisa menjadi lebih menarik seandainya para pengunjung yang datang bisa menjaga kebersihan di sekitar danau ini. Tidak membuang sampah sembarangan. Sepenglihatan saya banyak sampah berserakan di antara bebatuan di pinggir danau. Hal ini sangat merusak pemandangan. Satu hal yang penting juga berhati hatilah berjalan di antara bebatuan ini karena bisa jadi licin membuat orang berjalan terjatuh. Bawalah penutup kepala karena meskipun musim dingin, mataharinya sangat terik jatuh di kepala.







Perjalanan terakhir kami adalah menyusuri sungai Shari di Lala Khal menaiki perahu boat selama 4o menit perjalanan menuju hulu yang juga berada di perbatasan India dan Bangladesh. Perjalanan menyusuri sungai menjadi sangat menarik karena air sungainya yang berwna hijau kebiruan atau disebut warna toska. Di sepanjang aliran sungai saya melihat kehidupan penduduk lokal yang menggunakan aliran sngai ini untuk kebutuhan sehari hari. Mulai dari mandi, mencuci, dan mengambil air minum semua dilakukan di pinggiran sungai ini. Tak hanya itu mereka juga menambang pasir sungai ini sebagai pekerjaan untuk penghasilan kehidupan sehari hari. Di hulu sungai kami berhenti dan berjalan ke kebun teh lagi melawati perkampungan penduduk. Kami kembali ke dermaga Sarighat menjelang matahari tenggelam. Puas sudah berkelana selama 3 hati berkeliling sekitar Sylhet. Masih banyak tempat yang belum sempat kami singgahi seperti Tanguar Haor, Bichanakandi, Sunamganj Lake dan lain sebainya. Mungkin lain kali kami akan datang setelah musim hujan di saat air memenuhi danau dan sungai sehingga tanaman juga terlihat hijau dan segar.









Lantas kapankah musim yang baik datang ke Sylhet ? Menurut saya kapan saja tergantung apa yang mau dicari. Di musim hujan tanaman akan tumbuh subur dan hijau tapi jalanan menuju tempat wisata akan becek belum lagi basah basahan karena hujan dan langit terlihat lebih gelap karena mendung. Sementara di musim dingin atau musim panas, langit akan lebih cerah dan biru, jalanan kering berdebu tapi tak perlu basah basahan. Bagi saya setiap musim ada pengalaman yang berbeda dan menarik tentunya. Jadi pililah sesuai keinginan hatimu saja.