Cox’s Bazaar Ironi Kota Tepi Pantai Yang Indah

Pertama kali dengar nama Cox’s Bazaar dari Pak Suami yang mendapatkan misi ke Bangladesh. Sebelumnya saya tak pernah dengan nama kota yang berada di pesisir pantai Teluk Bengal ini. Kami tiba di kota ini pertengahan September di saat musim hujan atau monsoon. Kami sempat merasakan hujan yang tak berhenti selama berhari hari. Cuaca terasa sangat panas dan lembab. Saat ini sudah masuk musim dingin, udara mulai terasa sejuk dan kering. Matahari tak terasa terik lagi saat seperti musim panas. Secara umum ada 3 musim di Bangladesh yaitu musim panas antara Maret – Juni, musim hujan (monsoon) Juni – Oktober dan musin dingin Oktober – Maret. Suhu rata rata antara 30 – 40 derajat Celcius.

Untuk mencapai Cox’s Bazaar bisa ditempuh dengan naik bus atau pesawat terbang dari ibukota Bangladesh, Dhaka. Nama Cox’ Bazaar ini diambil dari nama seorang berkebangsaan Inggris Captain Hiram Cox yang pernah mengurusi banyak pengungsi di Panowa, nama lama Cox’s Bazaar. Untuk mengenang Captain Cox ini dibangunlah sebuah pasar bernama Cox’s Bazaar, begitulah nama kota tersebut berganti sampai sekarang. Cox’s Bazaar merupakan kota parawisata dan nelayan. Banyak turis lokal maupun asing datang ke kota ini memadati pantai yang berada di sekitar Cox’s Bazaar. Kota ini juga dikenal sebagai kota nelayan karena sepanjang pesisir pantai banyak nelayan mencari ikan di Teluk Bengal ini. Mereka menangkap ikan dengan menjala ke tengah laut dan pinggir pantai. Banyak ikan yang dihasilkan dari pesisir pantai.

Di tengah kota yang penuh debu dan semrawut
Penduduk lokal berdagang buah jambu di pusat kota

Kami tinggal selama tiga bulan di kota ini. Kurun dalam waktu tiga bulan tersebut merupakan waktu yang cukup bagi saya dan Pak Suami menyusuri kota dan pantai disekitarnya. Kota Cox ini sebenarnya tak terlalu luas, tapi sangat padat penduduk. Terlihat bangunan bertingkat banyak dibangun sebagai hunian penduduk atau apartemen maupun hotel sebagai penginapan utuk para tamu turis.Bila pergi ke pusat kota Cox sangat terasa penuh sesak oleh penduduk yang berseliweran ditengah kota yang sekaligus sebagai pusat perbelanjaan dan angkutan umum. Tepi pantai juga tak kalah ramai dan padatnya oleh pengunjung. Kebanyakan mereka ini adalah wisatawan lokal yang datang dari luar kota Cox. Di masa pandemi saja pantai ini terasa penuh sesak apalagi tidak ada pandemi, saya tak bisa membayangkan ramainya kota dan pantai di Cox’s Bazaar ini.

Pantai yang selalu ramai pengunjung
Di sepanjang pantai ditanami pinus
Berkuda salah satu atraksi di tepi pantai

Pertama tiba di bandara Cox sudah mulai terasa ini kota yang berbeda dari kota lain yang pernah saya kunjungi. Bandara yang tak terlalu luas hanya ada satu bangunan tempat memeriksa pendatang asing macam kami. Hanya cek passport dan cek suhu karena kebetulan masih pandemi covid 19 masih berlangsung. Setelah isi form kedatangan tamu kami keluar ruangan kembali keluar menunggu barang dari bagasi yang dikeluarkan di parkiran pesawat dekat landasan. Dari sana barang langsung diturunkan di pinggir parkiran tempat orang orang menunggu bagasi. Tak ada pengecekan bagasi penumpang bisa langsung keluar pagar tembok bandara. Lucu banget rasanya, belum pernah ketemu bandara sesimple ini jalurnya. Bandara ini sepertinya belum dikembangkan sejak pendiriannya pertama kali dulu.

Dari bandara kami dijemput oleh driver yang dikirimkan oleh pihak organisasi tempat Pak Suami bekerja. Tak jauh dari bandara, melewati jalanan sempit yang berlubang dan berdebu di sisi kiri kanan jalan tampak bangunan tua, kumuh tak pernah dicat ulang. Orang banyak lalu lalang terutama becak, bajay dan tomtom yang merupakan angkutan umum di kota ini. Kami tiba di sebuah apartemen bertingkat tak terlalu tinggi yang menjadi tempat tinggal kami selama tiga bulan di kota ini. Di depannya ada sebuah lapangan sepakbola yang sering digunakan sebagai tempat latihan olahraga dan berbagai acara. Jujur saja pertama kali saya sudah tak tertarik dengan kesemrawutan kota ini.

Kami masih harus menjalani masa karantina selama 14 hari. Untuk urusan belanja kami dibantu oleh pihak logistik dan supir dari kantor. Saya kasih daftar belanja mereka yang pergi membelikannya. Tak ada pilihan lain saya harus memasak apa yang saja. Terkadang kami harus pesan makan dari luar melalui FoodPanda, aplikasi pesan antar makanan yang ada di kota Cox. Saya suka chicken biryani untuk makan siang dan paratha dengan mix vegetable sebagai sarapan pagi. Poushe Restoran adalah langganan kami karena masakan lokalnya yang enak. Kami tak diijinkan makan sembarang dari tempat makan pinggir jalan untuk menjamin kebersihan makanannya.Padahal saya suka mencoba jajanan di jalanan ke mana pun kami pergi. Biasanya makanan lokal lebih mudah ditemukan di jajanan pasar. Begitulah keseharian kami selama karantina kami lalui dengan baik meskipun ada rasa bosan dan penasaran untuk segera melihat pusat kota dan pantai. Sebelumnya saya sudah mencari informasi tentang kota ini terutama pantainya yang konon katanya memiliki garis panatai terpanjang kedua seplanet bumi, sepanjang 150 km, terbentang dari Cox’s Bazaar sampai Teknaf, perbatasan Myanmar.

Perahu nelayan
Nelayan sedang merapikan jalanya di sore hari

Tiba saatnya hari pertama kami bisa keluar rumah, kebetulan hari Sabtu hari libur, segera kami menuju pantai sekalian makan siang di sana. Kami dengar dari rekan kerja Pak Suami ada caffe yang menyediakan berbagai macam makanan asing (bukan lokal food). Namanya Mermaid Caffe, sebelumnya nama ini sudah pernah saya baca sebagai satu tempat yang wajib dikunjungi jika datang ke Cox’s Bazaar. Lokasi berada di pantai Sughanda. Oh, iya di sini ada berbagai nama pantai yang di kemudian hari kami kunjungi satu persatu.

Kami diantar oleh Pak Supir ke sini karena kami tak diijinkan pergi sendiri naik angkutan umum. Di sepanjang jalan utama menuju pantai terlihat banyak hotel berderet. Kotanya tampak sumuk dan semrawut, banyak orang berlalulalang. Di akhir pekan kota ini memang selalu padat pengunjung. Kendaraan saling membunyikan klakson tak sabaran untuk mendahului. Berisik sekali, kotor dan penuh debu. Polusi udara dan suara sangat terasa memekakan telinga. Sehabis makan siang di Caffe Mermaid kami melanjutkan perjalanan ke pusat kota karena ingin berbelanja barang kebutuhan sehari hari.

Keramaian saat perayaan Durga Puja di Labonee Beach
penduduk membawa patung patung dewa ini menuju pantai dalam perayaan Durga Puja

Di pikiran kami, Pak Supir akan mengantar ke sebuah mall layaknya di Indonesia, besar dan luas, tapi ternyata tidak. Di sini tempat belanja itu hanya berbentuk toko kelontong yang mereka sebut superstore. Jalan meuju pusat kota sangat padat dan macet. Jalanan dipenuhi oleh kendaraan roda tiga yang saya sebutkan diatas sebagai kendaraan umum. Saya mulai merasa mual. Di luar baru saja hujan berhenti. Banyak genangan air di sana sini di jalanan yang berlubang yang terasa mengguncang perut. Tak hanya kendaraan yang berseliweran, saya juga melihat beberapa ternak sapi yang berjalan di antara kerumunan orang yang berlalu lalang. Sepanjang jalan terlihat sampah yang berserakan bekas ternak sapi itu mengorek ngorek mencari makanan di sana. Pemandangan yang tak lazim yang pernah saya lihat. Setelah berbelanja bahan kebutuhan makanan kami segera pulang. Tak betah rasanya berlama lama di tengah kota yang padat dan sumuk itu.

Bulan pertama terasa sangat berat menjalani hari hari di kota ini. Setiap saya mau keluar rumah harus ditemani Pak Suami karena ada rasa tak nyaman berjalan sendiri di luar sana. Tak umum di sini perempuan pergi keluar rumah sendirian. Saya merasa tak bebas, berpakaian pun saya harus mengikuti gaya orang lokal, berpakaian tertutup. Tak lazim di sini perempuan berpakaian kasual macam jeans dan kaus oblong. Biasanya perempuan lokal memakai baju tradisional sari atau berpakaian muslimah berupa baju kerudung panjang dan hijab tak ketinggalan selendang sebagai penutup dada. Dalam segala hal mereka berpakaian demikian bahkan saat bermain air di pantai. Kaum lelaki sudah lebih bebas cara berpakaiannya, mereka sudah banyak yang memakai baju casual tapi ada juga yang masih memakai sarung atau lungi dalam keseharian mereka. Meskipun Cox’s Bazaar ini kota di tepi pantai, tapi sangat jauh berbeda situasinya di pantai. Tak umum di sini bermain di pantai dengan pakaian terbuka, seperti daerah pantai yang biasa saya kunjungi. Tak ada yang berbikini atau celana pendek, begitu juga kaum lelakinya mereka berpakaian lengkap meskipun mau kecebur ke pantai. Itulah salah satu keunikan berada di pantai Teluk Bengal ini.

Senja indah di tepi pantai Kolatoli
Orang lokal bermain bola di tepi pantai sambil menunggu matahari tenggelam.
Bermain pasir di tepi pantai

Ada beberapa pantai yang bisa dikunjungi jika datang ke Cox’s Bazaar. Antara lain Labonee Beach, pantai yang paling dekat pusat kota. Pantai ini sangat ramai sekali. Di sekitar pantai ada beberapa restaurant yang menyediakan makan malam ala barbeque. Karena di sini daerah pantai sangat mudah mendapatkan makanan laut di sini. Rasa dan harganya pun masih terjangkau. Ada satu kekhususan di pantai Laboni ini yaitu di sini selalu dilakukan acara perayaan Durga Puja, yaitu perayaan umat beragama Hindu yang dirayakan secara besar besaran. Pada kesempatan kali ini kami beruntung bisa melihat acara tersebut. Orang orang berduyun duyun dari segala penjuru di sekitaran Cox’s Bazaar menuju pantai Laboni untuk meramaikan perayaan yang dilakukan setahun sekali ini. Berjalan tak jauh dari Labonee Beach bisa dijumpai pantai Sughanda yang tak kalah ramainya dengan pantai Laboni. Pantai yang agak sepi adalah Kolatoli Beach, meskipun ya tak sepi sepi amatlah. Orang lokal sepertinya sangat suka berlibur ke pantai di akhir pekan. Belum pernah terlihat pantai ini sepi dari pengunjung, begitu juga hotel selalu penuh. Baiknya datang ke sini setelah monsoon lewat, artinya sekitar bulan November cuaca sudah mulai bagus. Langit terlihat biru, matahari tenggelam semakin terlihat indah dan cantik. Udara tak terasa lembab dan menyengat karena suhu mulai turun akibat pengaruh musim dingin dari utara. Di pagi hari kadang terlihat kabut turun menyapa bumi. Sore hari matahari terlihat indah dan bundar pada saat akan tenggelam dengan semburat warna merah menyala dan langit berubah warna jingga keunguan. Sungguh menakjubkan bisa melihat matahari tenggelam dengan perubahan warna yang bergantian.

Nelayan pergi melaut pada siang hari untuk menangkap ikan di pantai Teknaf
Belanja ikan segar di pasar ikan Cox’s Bazaar

Bosan hanya di Cox’s Bazaar saya ikut Pak Suami tugas lapangan di daerah Teknaf. Di sini pantainya tak terlalu ramai didatangi pengunjung. Tapi menurut saya justru di sini lebih bisa menikmati pantai yang lebih orisinil, yaitu pantai dengan perahu nelayan yang jumlahnya cukup banyak sepanjang garis pantai mulai dari Ukhiah sampai Teknaf. Perahu nelayan itu tampak berderet parkir dengan warna warni yang mencolok. Bentuk perahunya agak unik, di muka dan belakang perahu berbentuk sabit yang ujungnya dibuat runcing. Ini merupakan ciri khas perahu nelayan di sini. Rupanya kampung nelayan juga ada di sini. Di sepanjang sisi pantai dekat ke jalan raya terlihat para nelayan menjual ikan hasil tangkapannya kepada pedagang yang datang ke lokasi tersebut. Selain ikan itu dijual ke pedagang sebagian lagi dikeringkan dan diasinkan. Penduduk lokal di daerah pesisir ini sebagian besar adalah nelayan selebihnya mereka ada juga yang hidup bertani menanam pinang dan padi. Di sekitar perjalanan dari Cox’s Bazaar menuju Teknaf banyak terlihat pohon pinang berjejer rapat, sepertinya sudah ditanam secara industrial. Biji pinang ini kemudian diekspor ke India sebagai bahan pewarna pakaian.

Dalam perjalanan menuju Teknaf ada satu pantai namanya Inani Beach yang merupakan pantai koral atau berbatu. Pantai ini menjadi berbeda karena keunikannya itu. Meskipun tak seramai pantai lainnya, di sini juga tak kalah menariknya menikmati matahari tenggelam. Kami sempatkan menginap di sebuah resort yang cukup mewah untuk ukuran daerah ini. Meskipun harganya lebih mahal dibandingkan dengan hotel atau resort lainnya di sekitaran Cox’s Bazaar tapi ada rasa yang berbeda karena suasana resort yang lebih tenang dengan pemandangan bukit di belakang resort. Udara terasa lebih sejuk dan bersih. Beginilaah cara yang kami lakukan untuk mengusir sejenak kebosanan akibat kesemrawutan kota yang kami hadapi dalam kesehariannya. Tak terasa tiga bulan sudah berlalu dan kami harus meninggalkan Cox’s Bazaar untuk meneruskan perjalanan ke Dhaka, ibukota Bangladesh. Banyak cerita yang saya dapatkan di kota ini hanya sebagian yang telah saya tuliskan, sebagiannya lagi tersimpan sebagai kenang kenangan saja. Tapi untuk kembali ke sana, saya akan mikir mikir dulu karena masih banyak tempat indah lain yaang menunggu untuk dijajaki. Seperti yang sudah sudah juga, sangat jarang kan kita kembali ke tempat wisata yang itu lagi itu lagi ….

2 Comments

  1. Wah seru sekali cerita di Bangladesh ini, apalagi masih pandemi. Tapi kayaknya banyak yang gak pake masker yah?
    Kalo pake baju kayak mereka masih suka diliatin dari atas sampai bawah yang bikin risih itu gak?

    Suka

Tinggalkan Balasan

Isikan data di bawah atau klik salah satu ikon untuk log in:

Logo WordPress.com

You are commenting using your WordPress.com account. Logout /  Ubah )

Foto Facebook

You are commenting using your Facebook account. Logout /  Ubah )

Connecting to %s

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.